Di tengah kompleksitas dan ketidakpastian geopolitik global, Indonesia terus mengembangkan strategi adaptif dalam doktrin pertahanan nasionalnya. Evolusi strategi adaptif ini sangat krusial untuk menghadapi spektrum ancaman yang semakin beragam dan dinamis, dari konflik konvensional hingga ancaman hibrida di era modern. Artikel ini akan mengupas mengapa strategi adaptif menjadi inti dari doktrin pertahanan Indonesia dan bagaimana konsep ini diimplementasikan untuk menjaga kedaulatan serta keamanan nasional di masa kini dan mendatang.
Doktrin pertahanan Indonesia, yang dikenal sebagai Sistem Pertahanan Semesta (Sishankamrata), secara fundamental bersifat fleksibel dan mampu beradaptasi. Prinsip dasarnya melibatkan pengerahan seluruh komponen bangsa—militer dan non-militer—untuk menghadapi ancaman. Namun, di era modern, adaptasi ini diperdalam. Jika sebelumnya fokus lebih pada ancaman konvensional, kini doktrin tersebut diperluas untuk mencakup ancaman non-militer yang bersifat asimetris dan tak terduga, seperti perang siber, terorisme transnasional, bencana alam berskala besar, hingga penyebaran ideologi radikal. Ini menuntut TNI dan seluruh elemen pertahanan untuk terus belajar dan berinovasi.
Penerapan strategi adaptif juga terlihat dalam modernisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan) yang dilakukan TNI. Alih-alih hanya mengandalkan jumlah, fokus kini beralih pada teknologi canggih dan interoperabilitas antar matra. Misalnya, pengadaan pesawat tempur generasi terbaru atau kapal selam canggih bukan hanya untuk deterrence, tetapi juga untuk meningkatkan kemampuan intelijen, pengawasan, dan pengintaian yang vital dalam menghadapi ancaman modern. Transformasi digital dalam tubuh militer, termasuk penggunaan kecerdasan buatan (AI) dan big data untuk analisis ancaman, juga menjadi bagian dari strategi ini. Kepala Staf Umum TNI, Laksamana Madya Edi Sucipto, dalam sebuah forum diskusi pertahanan pada 10 Juni 2025, menekankan bahwa “pertahanan hari ini harus mampu beradaptasi dengan kecepatan perubahan ancaman, bukan hanya responsif.”
Selain aspek militer, strategi adaptif juga melibatkan penguatan ketahanan nasional di berbagai sektor. Ini termasuk ketahanan pangan, energi, kesehatan, dan siber. Kerentanan di salah satu sektor ini dapat menjadi celah bagi ancaman non-militer yang dapat mengganggu stabilitas negara. Oleh karena itu, kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, serta partisipasi aktif masyarakat, menjadi kunci dalam membangun ketahanan holistik yang mampu menangkal ancaman hibrida. Contohnya, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) terus meningkatkan kemampuannya dalam menjaga keamanan siber nasional, bekerjasama dengan TNI dan kepolisian.
Pada akhirnya, strategi adaptif adalah keniscayaan bagi doktrin pertahanan Indonesia di era modern. Dengan kemampuan untuk terus belajar, berinovasi, dan mengintegrasikan seluruh potensi bangsa dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman, Indonesia dapat memastikan kedaulatan dan keamanan nasional tetap terjaga di tengah lanskap global yang penuh tantangan.